Konon, hari raya Cing Bing atau Qing Ming (清 明節, baca: ching ming =
cerah dan cemerlang) pada awalnya adalah ritual “pembersihan makam” oleh
para kaisar, raja dan petinggi negara lainnya pada zaman dahulu kala,
kemudian ditiru oleh rakyat kebanyakan dengan memberi persembahan kepada
leluhur dan membersihkan/merawat makam pada hari yang sama, diteruskan
turun temurun sehingga menjadi semacam adat istiadat yang baku bagi suku
bangsa Tionghoa.
Menurut hasil survei pada hari Cing Bing yang
jatuh pada 5 April setiap tahun, peziarah di Tiongkok kali ini diduga
melebihi 120 juta orang.
Bagi orang Tionghoa yang memiliki
tradisi setia, berbakti, murah hati dan keakraban, hari raya Cing Bing
adalah merawat, membersihkan makam untuk mengenang para leluhur.
Sedangkan
bagi etnis Tionghoa yang berada di luar Tiongkok, setiap pada hari
tersebut, kerinduan terhadap kampung halaman akan terasa lebih kental,
jadilah perayaan Cing Bing sebagai tradisi orang Tionghoa untuk
menelusuri dan mengenang suasana “kebudayaan leluhur”, di dalam
kehangatan keluarga dan kerabat, menunaikan pengembalian identitas asal
dan meneruskan akar nadi.
Dalam masyarakat Tiongkok, diantara
perayaan-perayaan tradisional yang ada, hari raya Cing Bing merupakan
salah satu dari “8 perayaan” penting (antara lain: Imlek, Pek Cun yang
terkenal dengan kue bakcang, Tiongjiu yang terkenal dengan kue Tiong Jiu
Pia, dan lain-lain). Pada umumnya ditentukan pada 5 April tahun masehi,
tetapi masa perayaannya cukup panjang, terdapat 2 macam ketentuan yakni
10 hari sebelum dan 8 hari sesudah atau 10 hari sebelum dan 10 hari
sesudah, jumlah hari yang hampir 20 hari lamanya tersebut termasuk hari
Cing Bing.
Asal mula
Hari Cing Bing bermuasal dari zaman
Chun Qiu Zhan Guo (Musim semi-gugur dan negara saling berperang, abad
11–3 SM), adalah salah satu hari perayaan tradisional suku Han (suku
mayoritas di Tiongkok), sebagai salah satu dari 24 Jie Qi (sistem
kalender Tiongkok), waktunya jatuh antara sebelum dan sesudah 5 April
Masehi.
Sesudah hari Cing Bing, di Tiongkok semakin banyak hujan,
bumi dipenuhi dengan panorama kecemerlangan musim semi. Pada saat itu
semua makhluk hidup “melepaskan yang lama dan memperoleh yang baru”, tak
peduli apakah itu tanaman di dalam bumi raya, atau tubuh manusia yang
hidup berdampingan secara alamiah, semuanya pada saat itu menukar
pencemaran yang diperoleh pada musim dingin/salju untuk menyambut
suasana musim semi dan merealisasi perubahan dari Yin (unsur negatif) ke
Yang (unsur positif).
Konon, sesudah Yu agung (大禹, raja pada
zaman Tiongkok kuno, abad ke-22 SM) menaklukkan sungai, maka orang-orang
menggunakan kosa kata Qing Ming (di Indonesia terkenal dengan Cing
Bing) untuk merayakan bencana air bah yang telah berhasil dijinakkan dan
kondisi negara yang aman tenteram.
Pada saat itu musim semi nan
hangat bunga bermekaran, seluruh makhluk hidup bangkit, langit cerah
bumi cemerlang, adalah musim yang baik untuk berkelana menginjak
rerumputan (Ta Qing). Kebiasaan tersebut telah dimulai sejak dinasti
Tang (618-907).
Saat Ta Qing, orang-orang selain dapat menikmati
panorama indah musim semi, juga sering dilangsungkan beraneka kegiatan
hiburan untuk menambah gairah kehidupan.
Hari raya Cing Bing
adalah musim berziarah ke makam, sebetulnya membersihkan makam adalah
makna dari hari festival makanan dingin (寒食節) yakni 1 hari sebelum Cing
Bing.
Kaisar Tang Xuanzong memerintahkan seluruh negeri agar
“berziarah pada hari festival makanan dingin”. Berhubung festival
makanan dingin berdempetan dengan Cing Bing maka lambat laun digabung
dan terwariskan menjadi pembersihan makam pada Hari Cing Bing saja.
Pada
zaman dinasti Ming (1368-1644) dan Qing/Mancu (1616-1911) Cing Bing
berziarah ke makam semakin populer. Berziarah ke makam pada zaman
dahulu, anak-anak seringkali bermain layang-layang. Ada yang memasangi
seruling bambu pada badan layang-layang, yang berbunyi tatkala angin
(Feng, 風) berhembus melaluinya, bagaikan bunyi alat musik zaman kuno
yang disebut Zheng (箏), konon demikianlah asal usul nama layang-layang,
dalam bahasa mandarin ialah: Feng Zheng (風箏, harfiah: Zheng yang
dibunyikan oleh angin)
Adat dan istiadat
Adat istiadat
hari raya Cing Bing sangat kaya dan menyenangkan, selain menganjurkan
pati geni (tidak memasak/ menyalakan api), berziarah, juga ada
serangkaian kegiatan seperti berkelana, berayun, sepak bola, menancapkan
ranting pohon Willow dan lain-lain.
Konon ini dikarenakan pada
hari Cing Bing tidak boleh memasak dan harus mengonsumi makanan dingin,
maka untuk mencegah timbulnya dampak pada kesehatan, semua orang
mengikuti sejumlah kegiatan di luar ruangan agar tetap fit. Oleh karena
itu, di dalam acara tersebut selain bersembahyang di makam baru, dengan
suasana haru dan penuh duka, pada kegiatan menginjak rumput/ berkelana
juga terdapat suara tertawa riang, ini adalah sebuah acara yang penuh
keunikan.
Bermain ayunan Qiu Qian (鞦韆): ini adalah adat
kebiasaan hari Cing Bing zaman kuno. Sejarahnya panjang, ayunan pada
zaman dulu kebanyakan menggunakan dahan sebagai rangka kemudian
ditambatkan selendang atau tali. Akhir-nya berkembang menjadi 2 utas
tali ditambah papan kayu sebagai pijakan kaki yang dipasang pada rangka
balok kayu yang hingga kini digemari, terutama oleh anak-anak seluruh
dunia.
Cu Ju (蹴鞠, sepak bola kuno): Ju adalah semacam bola yang
terbuat dari kulit, di dalam bola tersebut diisi bulu hingga padat. Cu
Ju menggunakan kaki untuk menyepak bola. Ini adalah semacam permainan
yang digemari oleh orang-orang pada saat Cing Bing pada zaman kuno.
Konon ditemukan oleh Huang Di (kaisar Kuning), pada awalnya bertujuan
untuk melatih kebugaran para serdadu.
Menanam pohon: sebelum dan
sesudah Cing Bing, matahari musim semi menyinari, hujan rintik musim
semi betebaran, menanam tunas pohon berpeluang hidup tinggi dan dapat
tumbuh dengan cepat. Maka, semenjak zaman kuno, di Tiongkok terdapat
kebiasaan menanam pohon di kala Cing Bing. Ada orang menyebut hari Cing
Bing sebagai “hari raya penanaman pohon”. Kebiasaan ini berlangsung
hingga hari ini.
Bermain Layang-layang: juga merupakan kegiatan
yang populer di saat musim Cing Bing. Setiap musim Cing Bing, selain
pagi hari, orang-orangpun bermain layang pada malam hari. Pada kegelapan
malam, di bawah layang-layang atau pada posisi benang-tarik digantungi
serentetan lampion kecil, seperti selebritis yang cemerlang, disebut
“Lampu dewata”.
Dahulu, ada orang setelah layang-layang berkibar
di langit biru, memutus talinya, mengandalkan angin mengantarnya ke
tempat nan jauh, konon ini bisa menghapus penyakit dan melenyapkan
bencana serta mendatangkan nasib baik bagi diri sendiri.
Merawat
atau membersihkan makam: Merawat makam di hari Cing Bing, dikatakan
sebagai suatu tindakan untuk menghormat dan mengenang para leluhur.
Kebiasaan membersihkan makam sudah ada sebelum dinasti Qin (221-206 SM),
tetapi tidak harus dilangsungkan pada hari Cing Bing, berziarah
membersihkan makam saat Cing Bing adalah masalah setelah Dinasti Qin.
Dan sesampainya Dinasti Tang kebiasaan baru mulai menjadi populer.
Menancapkan
pohon Willow: konon, kebiasaan menancapkan dahan willow (pohon
Yangliu), juga demi memperingati Shen Nong Shi, yang dianggap sebagai
guru leluhur pertanian dan pengobatan. Di sebagian tempat, orang-orang
menancapkan dahan willow di bawah teritisan rumah, untuk meramalkan
cuaca. Sesuai pameo kuno “Kalau dahan willow hijau, hujan rintik-rintik;
kalau dahan willow kering, cuaca cerah”. Willow memiliki daya hidup
sangat kuat, dahannya cukup ditancapkan langsung hidup, setiap tahun
menancapkan dahan willow, dimana-mana rimbun.
Etnis Tionghoa rayakan Cing Bing
Semakin
jauh dari tanah leluhur, perasaan sentimental dan nostalgia sepertinya
semakin mendalam saja, di pelosok dunia dimana ditemukan orang etnik
Tionghoa, setiap Cing Bing tahunan, pasti mereka mengikuti adat
istiadat, menerawang negeri leluhur dari lokasi kejauhan dan mengirimkan
kerinduan dari jauh melalui perayaan. Hari Cing Bing menjadi salah satu
hari perayaan paling ramai dari tiga hari raya besar (tahun baru imlek,
Cing Bing dan hari Tiongjiu) di wilayah pecinan.
Etnis Tionghoa di Indonesia
Indonesia
adalah negara dengan penduduk etnis Tionghoa terbanyak di dunia,
terdapat sekitar 15 juta orang yang hidup di sini yang selalu meneruskan
adat pembersihan makam dan bersembahyang kepada leluhur pada hari Cing
Bing.
Di dalam nilai kehidupan masyarakat Tionghoa, berbakti
(Xiao, 孝), ditempatkan pada urutan pertama, sedangkan pembersihan makam
dan sembahyang leluhur juga adalah semacam perwujudan jalan Xiao
(berbakti kepada orang tua atau leluhur).
Tatkala pada 1999
Indonesia memasuki era reformasi demokrasi, pemerintah telah menghapus
larangan yang bersifat diskriminatif dan membatasi etnis Tionghoa
merayakan hari kebudayaan tradisional, maka orang Tionghoa di seluruh
pelosok menggunakan berbagai cara untuk melewati hari raya Imlek, Yuan
Xiao (15 hari sesudah tahun baru Imlek, yang biasanya dimeriahkan dengan
hidangan lontong cap go meh) dan Cing Bing, pada generasi yang lebih
tua mereka akan lebih mengutamakan Cing Bing.
Sebelumnya, etnis
Tionghoa kebanyakan menyembah arwah leluhur di altar rumah, belakangan
ini setiap nama marga memiliki kantor perkumpulan sendiri, maka para
kerabat setelah berkumpul dan melakukan persembahan kepada leluhur
lantas makan siang bersama, untuk mengakrabkan hubungan satu sama lain.
Ada
pula yang menggunakan peluang ini untuk memberi bea siswa kepada
kerabat muda yang berprestasi bagus, hal ini mewujudkan tradisi prima
kaum etnis Tionghoa yang menghargai jasa para leluhur dan mau memberi
semangat generasi muda agar giat belajar.
Pada masa Cing Bing, di
beberapa tempat diadakan reuni sekolah dan kegiatan lainnya, dengan
tujuan untuk memperdalam persahabatan. Lebih banyak lagi etnis Tionghoa
yang berziarah secara sekeluarga ke makam leluhur, atau ke kuil menyulut
dupa dan memohon rezeki.
Beberapa tahun belakangan ini, dalam
situasi orang Tionghoa boleh menikmati dengan bebas perayaan kebudayaan
dan “demam belajar bahasa Mandarin”, generasi baru orang Tionghoa di
Indonesia mulai menghargai kebudayaan Tionghoa.
Sumber