Orang
Tiongkok memujanya sebagai Dewi Pelindung Laut (Pelaut)-Chinese Goddess
of The Sea. Punya 36 lebih julukan, namun populer sebagai "Bunda
Penolong" atau Shunji Fu Ren yang dianugerahkan seorang kaisar dari
Dinasti Song.
Ma Zu (Mandarin) atau Ma Cho (Hock Kian) adalah salah satu dewi dalam
kepercayaan orang Tiongkok (termasuk Taiwan). Dipuja karena dikenal
sebagai sosok penolong, pelindung (terutama bagi pelaut dan nelayan),
dan sangat berbudi luhur. Banyak versi mengenai kisah dewi bernama
asli Lin Mo Niang ini, namun semua mengarah pada satu kesamaan. Bahwa ia
adalah manusia yang "terpilih" menjadi orang suci.
Legenda Ma Zu (Bunda Pelindung) ini berasal dari masa awal Dinasti Song
(960-1279 M) di Tiongkok kuno pada seribu empat puluh tujuh tahun lalu.
Adalah keluarga Lin (disebut juga Lim), keturunan mantan Gubernur
Provinsi Fu Zian (Tiongkok) bernama Lin Fu. Anaknya bernama Lin Wei Ke
menempati sebuah rumah di Provinsi Fu Zian, dekat kota Pu Tian,
persisnya di sebuah pulau kecil bernama Mei Zhou (sering juga disebut
Pulau Matsu -wilayah RRC).
Lin Wei -seperti juga ayahnya- adalah mantan pejabat pemerintah
Tiongkok. Setelah pensiun ia kembali ke kampung halamannya. Menghabiskan
masa tuanya dengan bertani dan mempelajari banyak kitab agama dan buku
pengetahuan. Ia hidup bahagia, damai dan tenang.
Lin dikenal sebagai orang yang sangat saleh, baik budi, suka menolong
dan berderma, sehingga sangat dihormati penduduk Mei Zhou. Dari istri
tercintanya Wang Shi, Lin memiliki 6 anak, 5 perempuan dan 1 lelaki.
Keenam anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pintar dan cerdas. Namun
anak lelakinya bernama Hong bertubuh sangat lemah dan sakit-sakitan.
Wang Shi, sangat prihatin dan khawatir pada nasib anak lelakinya. Ia dan
suaminya Lin, selalu memohon pada Yang Maha Kuasa agar diberi anak
lelaki lagi. Namun yang sehat dan kuat sebagai penerus generasi marga
Lin.
Kelahiran Lin Mo Niang
Suatu hari, Lin dan Wang melakukan sembahyang khusus di klenteng. Mereka
memohon kepada Dewi Kuan Im untuk mengabulkan harapan mereka untuk
mendapatkan seorang anak lelaki lagi. Malam harinya setelah pulang dari
klenteng, Wang Shi pun bermimpi. Ia bermimpi didatangi Dewi Kuan Im yang
mengatakan bahwa semua amal dan kebajikan pasangan Lin dan Wang pantas
mendapat balasan. Sang Dewi memberi Wang sebuah pil bundar sebesar
kelereng dan menyuruh menelannya. Wang Shi pun menelan pil tersebut.
Setelah menelan pil itu Wang Shi pun mengandung. Ia hamil selama 12
bulan. Tepat pada malam tanggal 23 bulan 3 tahun Imlek (960 M), langit
di wilayah Barat Laut Mei Zhou memendarkan cahaya merah terang.
Menerangi rumah Lin dan Wang. Dibarengi sinar warna-warni yang memukau,
Wang Shi pun melahirkan seorang bayi perempuan.
Walau heran mengapa diberi anak perempuan, Lin dan Wang tetap bersyukur
juga. Sebulan sudah kelahirannya, anak tersebut tidak pernah sekali pun
menangis. Karena itulah Lin memberi nama padanya Mo Niang (Mo artinya
diam; Niang artinya perempuan), "Perempuan Pendiam".
Masa Kecil
Sejak kecil Lin Mo Niang sangat berbeda dari anak seusianya. Ia tampak
lebih cerdas, bijak dan terampil. Sejak umur 8 tahun, ia sudah tertarik
pada pengetahuan dan buku. Kelebihannya, sekali baca, Mo Niang akan
tetap mengingat apa yang telah dibacanya. Jika ada yang ingin
diketahuinya, ia selalu rajin bertanya pada orang dewasa, sampai
sedetail-detailnya.
Umur 10 tahun, Mo Niang sudah rajin sembahyang dan mempelajari isi
kitab-kitab suci Buddha. Sampai akhirnya diusia 13 tahun ia sudah
menamatkan semua pelajaran dan menguasai banyak pengetahuan dan
keterampilan, termasuk dalam bidang agama dan kepercayaan. Ia berkembang
menjadi remaja yang sangat cerdas, kritis dan suka menolong. Ia pun
menjadi sangat dihormati penduduk Mei Zhou dan sekitarnya.
Satu kesenangan Mo Niang, yaitu ia sangat menyukai air. Kehidupan di
tepi laut menempa dirinya menjadi seorang perempuan yang tak pernah
gentar menghadapi dahsyatnya gelombang dan angin badai yang menghantui
para pelaut. Di seluruh pulau, ia dikenal sebagai jagoan renang bahkan
di gelombang laut yang besar sekali pun.
Saat remaja ini, Mo Niang pernah bertemu seorang pertapa tua. Si pertapa
merasa pengetahuan umumnya ternyata masih kalah dengan Mo Niang. Dari
"orang pintar" ini lah kemudian Mo Niang mendapat pelajaran mengenai
taktik dan strategi militer, pengenalan dan penggunaan alat-alat perang,
sampai beberapa ilmu "rahasia" leluhur.
Kebajikan
Ketika menginjak usia 16 tahun, Mo Niang mengalami peristiwa aneh. Suatu
hari ia (seperti juga gadis remaja lainnya) sedang mematut diri dengan
baju baru di depan cermin bersama teman remaja sebaya di sebuah taman di
dekat sebuah sumur. Tiba-tiba , dari dalam sumur muncul sosok lelaki
tua misterius. Penampakan itu sangat mengejutkan. Teman-temannya
langsung lari ketakutan karena mengira orang tua aneh itu adalah
siluman. Namun Mo Niang segera sujud menyembah, karena ia tahu sosok itu
adalah jelmaan Dewa. Sang Dewa ternyata membawa sebuah jimat dari
kuningan dan memberikannya pada Lin Mo Niang.
Sejak mendapat jimat, Mo Niang pun langsung memanfaatkannya untuk
menolong sesama. Ia membantu menyembuhkan orang sakit, memberi
penghiburan pada yang bersedih, menjauhkan malapetaka dan banyak
perbuatan baik lainnya. Kemahirannya dalam pengobatan ini menyebabkan
orang-orang di desa menyebutnya sebagai ling nu (gadis mukjizat), long
nu (gadis naga) dan shen gu (bibi yang sakti).
Pernah suatu kali saat usianya baru 17 tahun, Mo Niang melihat ada kapal
yang berlayar di dekat Pulau Mei Zhou yang sedang dipermainkan badai
besar. Kapal itu tenggelam dengan cepatnya. Namun Mo Niang segera
melompat ke laut dan dengan cekatan ia menyelamatkan seluruh pelaut yang
terjebak badai tersebut. Semua awak berhasil diselamatkannya. Dari sini
banyak orang yang mendengar tentang kehebatan, dan budi baik Mo Niang.
Ia pun semakin terkenal dan dihormati.
Ada versi legenda yang mengatakan, pada usia 23 tahun, Mo Niang berhasil
menaklukkan 2 orang sakti yang menguasai pegunungan Tao Hua Shan.
Keduanya adalah Chien Li Yen yang punya penglihatan sangat tajam dan
Hsun Feng Erh yang pendengarannya sangat peka. Setelah dikalahkan
akhirnya mereka menjadi pengawalnya.
"Mimpi Buruk"
Lin Mo Niang memang sangat cantik dan baik hati, namun ia tidak pernah
menikah. Setidaknya ia memang membaktikan dirinya untuk menolong sesama
dan berbuat kebaikan sesuai ajaran kebajikan.
Menginjak usia 28 tahun, di musim panas (sekitar tahun 987 M), sebuah
"tragedi" terjadi. Saat itu Lin Mo Niang sedang menenun pakaian. Namun
karena lelah, ia pun tertidur pulas.
Sementara itu ayah dan saudaranya sedang berlayar pulang ke Mei Zhou
dari perjalanan jauh. Kapal yang mereka tumpangi diserang badai dan
akhirnya tenggelam.
Bersamaan dengan itu, Mo Niang bermimpi, ia merasa rohnya
melayang-layang di atas permukaan laut. Ia terkejut saat menyaksikan
kapal sang ayah tenggelam. Ayah dan saudaranya pun terseret masuk ke
dalam amukan badai. Mo Niang segera berenang dan menyelam ke laut untuk
menolong mereka. Ia menggigit baju sang ayah sementara dengan tangan
yang lain ia menyeret abangnya. Bersusah payah ia mencoba menyelamatkan
kedua orang yang dikasihinya itu.
Namun saat penyelamatan masih berlangsung, tiba-tiba ibunya memanggil.
Ia pun terkejut dan berteriak kaget, sehingga gigitannya terlepas
sementara tangannya tetap menyeret tubuh abangnya. Tetapi saat terbangun
Lin Mo Niang mendapati dirinya masih di ruang tenun. Ia pun
menceritakan mimpinya itu pada sang ibu. Wang Shi, ibunya, berkata bahwa
itu hanya mimpi.
Tetapi tak lama kemudian, sebuah kabar buruk pun datang. Seorang pelaut
memberitahu bahwa kapal yang ditumpangi Lin dan putranya tenggelam.
Jasad Lin tidak ditemukan, tetapi Hong abangnya berhasil diselamatkan.
Mendengar kabar itu, betapa pilu hati Mo Niang. Dalam keadaan sedih ia
pun segera berlayar ke laut. Selama tiga hari tiga malam ia berusaha
menemukan jasad ayahnya. Pencariannya tak sia-sia. Ia pun kemudian ke
Pantai Mei Zhou bersama jasad sang ayah.
Menjadi Dewi
Sejak kematian sang ayah, Mo Niang setiap hari bersedih dan selalu
menangis. Hingga pada tanggal 8 bulan 9 tahun Imlek (987 M), ia pun
mengakhiri kepiluannya. Saat itu ia berkata kepada seluruh keluarga dan
ibunya bahwa ia akan menyendiri dan menjauhi keramaian duniawi. Ia akan
pergi dalam perjalanan yang sangat jauh.
Keesokan harinya, tanggal 9 bulan 9 Imlek (987 M), Lin Mo Niang
melakukan persiapan. Ia sembahyang dengan sangat khusyuk sambil merapal
kitab-kitab suci. Suasana sangat hening dan memilukan. Seluruh keluarga
pun kini yakin bahwa Mo Niang memang bertekad akan pergi jauh.
Ibunya meminta Mo Niang untuk tidak pergi seorang diri dan menawarkan
seorang pendamping dalam perjalanannya. Namun Mo Niang menolaknya dengan
halus dan menyakinkan seluruh keluarga bahwa kini sudah tiba waktunya
untuk pergi seorang diri.
Usai memanjatkan doa, tiba-tiba langit di sekitar kediaman keluarga Lin
di Pulau Mei Zhou dikelilingi selubung awan putih. Pendar sinar
warna-warni yang indah terlihat di atas langit. Banyak orang yang
menyaksikan sinar terang dan sosok Dewi Kuan Im berada di atas sebuah
awan yang paling terang.
Lalu tiba-tiba Lin Mo Niang menatap ke atas dan melompat ke awan. Awan
tiba-tiba menutup dan terang cahaya semakin memudar. Akhirnya awan
membumbung terbang jauh seiring sinar yang menghilang lenyap… langit pun
kembali normal. Lin Mo Niang pun lenyap bersama awan…
Klenteng Dewi Ma Zu
Lin Mo Niang tetap dikenang sampai seribuan tahun. Perempuan yang sudah
dianggap sebagai Dewi Ma Zu itu, hingga kini tetap dipuja sebagai "Bunda
Pelindung" dan "Bunda Penolong" bagi sebagian besar orang Tiongkok.
Setelah "kepergiannya" yang gaib, di Pulau Mei Zhou (Matsu), sebuah
klenteng dibangun untuk pemujaannya. Klenteng itu dikenal sebagai Tian
Hou Gong (Istana sang Dewi).
Kini, diperkirakan sekitar 5.000-an unit klenteng Ma Zu di dua puluh
negara di dunia sudah didirikan. Seluruh klenteng itu dibangun untuk
memuja dan sembahyang kepada Dewi Ma Zu oleh sekitar 200 juta jiwa orang
yang mempercayainya.
Setiap tahunnya, lebih dari sejuta orang memenuhi klenteng itu untuk
sembahyang dan meminta berkat pada Dewi Ma Zu. Karena orang Tiongkok
percaya bahwa Dewi Ma Zu bisa melindungi dan mengabulkan segala
permohonan mereka. Bahkan kaum pelaut di wilayah pantai dan perairan
Timur RRC (termasuk Taiwan) memuja Dewi Ma Zu sebagai Dewi Pelindung
Laut. Dewi yang melindungi mereka saat melaut.
Dua tahun sekali, persisnya pada tanggal 23 bulan 3 dalam penanggalan
lunar (kalender China/imlek) dan tanggal 9 bulan 9, pemuja Dewi Ma Zu,
berkumpul dan melakukan sembahyang di klenteng Dewi Ma Zu untuk
menghormatinya. Tanggal 23 bulan 3 adalah peringatan ulang tahunnya dan
tanggal 9 bulan 9 adalah peringatan wafatnya.
Hingga kini, Klenteng Ma Zu di Pulau Mei Zhou sebagai klenteng pertama bagi Lin Mo Niang, tetap dipenuhi orang.
Bahkan menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Selat Taiwan, Laut
China Timur. Klenteng itu dibangun pada masa Dinasti Song sekitar tahun
987 M di puncak sebuah bukit. Ditandai dengan patung Dewi Ma Zu setinggi
14,35 meter. Inilah yang menjadi lambang kebanggaan dan ciri khas
budaya penduduk Pulau Mei Zhou.
Sejak tahun 1998, pemerintah Pulau Mei Zhou juga telah membangun sebuah Istana Dewi Ma Zu di dekat klenteng tuanya.
Bangunan istana ini didirikan sepanjang 323 meter dengan lebar bangunan
99 meter. Arsitekturnya ditata seindah mungkin mengikuti garis kontur
perbukitan di pulau tersebut. Istana Dewi Ma Zu ini sangat megah.
Mengimbangi kemegahan Potala Palace tempat Dalai Lama Tibet di Lhasa.
Bangunan istana untuk menghormati Dewi Ma Zu ini selesai dikerjakan pada
2002. Kini menjadi satu obyek wisata yang cukup tersohor.
Sementara di Indonesia, khususnya di Medan, terdapat juga klenteng Dewi
Ma Zu (Dewi Macho) di kawasan Jalan Pandu Medan. Selain itu juga
tersebar di tepi pantai timur Sumatera dan daerah lainnya.
Kepercayaan kepada Dewi Ma Zu
Dewi Ma Zu sangat diagungkan di Taiwan. Hampir seluruh warga Taiwan
selalu memuja dan menghormati Dewi Ma Zu. Bukan hanya rakyat biasa, para
pejabat tinggi pemerintahan juga senantiasa memohon restu padanya.
Bahkan Presiden Taiwan sendiri, Chen Shui-bian, juga kerap mengunjungi
klenteng Dewi Ma Zu untuk meminta restu dan perlindungan dari sang dewi,
agar ia senantiasa dicintai rakyatnya. Pada saat menjelang Pemilu di
Taiwan, banyak kandidat dan tokoh politik yang juga melakukan sembahyang
di Klenteng Dewi Ma Zu.
Sementara kisah-kisah rakyat dan para pelaut menyebutkan bahwa
penampakan Dewi Ma Zu sering terlihat. Umumnya saat ombak laut sedang
mengganas atau badai mendera. Dewi Ma Zu disebutkan hadir untuk menolong
para pelaut yang mempercayainya.
Konon kehadiran Dewi Ma Zu ini ditandai dengan sinar merah terang.
Mungkin karena sejumlah saksi mata yang pernah terselamatkan dari amuk
lautan mengatakan bahwa Dewi Ma Zu senantiasa menggunakan pakaian merah
sambil memegang lampion terang benderang yang juga berwarna merah.
Dengan panduan lampion tersebut, Dewi Ma Zu membimbing pelaut dan
nelayan meniti gelombang menuju tempat yang aman.
Karena itulah Dewi Ma Zu begitu populer dikalangan masyarakat nelayan
dan desa-desa tepi laut. Bahkan sejak dulu para pelaut Tiongkok selalu
sembahyang kepada Dewi Ma Zu agar diberi keselamatan dalam pelayaran.
Mereka juga memasang patung Dewi Ma Zu di kapalnya.
Walau dikenal sebagai Dewi Pelindung Laut, Dewi Ma Zu tetap saja dipuja
bukan oleh kalangan nelayan dan pelaut semata. Ia juga dipercaya dapat
memberikan berkat untuk menyembuhkan penyakit, menepis bencana dan
malapetaka, memberi kesuburan, sampai memberi perlindungan dan
keselamatan.