Mempertahankan Tradisi Luhur Cina SEPERTI halnya kebudayaan-kebudayaan
lain, etnis Tionghoa pun memiliki tata cara tersendiri dalam hal
pernikahan. Namun, seiring derasnya arus modernisasi, pengaruh budaya
asing kini mendominasi acara pernikahan masyarakat Tionghoa. Di
Indonesia sendiri hanya di beberapa daerah tertentu saja tata cara
tradisional untuk pernikahan masyarakat Tionghoa masih tetap
dipertahankan.
Menurut pengamat budaya Tionghoa di Indonesia,
David Kwa, salah satu yang masih memelihara tradisi tata cara pernikahan
Tionghoa adalah daerah Tangerang.
"Di sana busana pengantin
tradisional Tionghoa Hwa Kun yang konon sudah punah di daerah daratan
Tiongkok masih tetap digunakan," kata David ketika ditemui okezone dalam
acara Living In Harmony, The Chinese Heritage in Indonesia, di Mal
Ciputra, Jakarta Barat, Selasa (5/2/2008) sore.
David
menambahkan, ciri khas busana tradisional pengantin ini adalah adanya
riasan kepala dan belasan tusuk konde, daster hijau, serta kain merah
bermotif dengan sulaman emas untuk pengantin perempuan. Pemakaian tusuk
konde bunga bergoyang ini sendiri sebenarnya diserap dari kebudayaan
Betawi. Untuk mengenakan pakaian ini, sang mempelai wanita akan dibantu
oleh seorang juru rias dan seorang kenek (pembantu juru rias) yang
mempersiapkan sesaji hingga seluruh rangkaian acara selesai.
"Kebudayaan
Betawi, Melayu, dan Sunda memengaruhi China peranakan, kalau ada
kembang goyangnya dari pengaruh Melayu, tapi kalau hiasan lain itu
Tionghoa," ucap pria keturunan itu. Pakaian untuk pengantin Tionghoa
berasal dari Dinasti Qing (1644-1911), karena orang Tionghoa yang banyak
datang ke Indonesia berasal dari periode tersebut.
Setelah
mempelai wanita selesai berpakaian, barulah ritual yang disebut upacara
Chio-Tau dimulai. Pertama kalinya sesaji ditetakkan di tempat
penyimpanan beras, di ruang dapur, dan meja abu leluhur. Setelah itu
upacara dimulai di meja abu, di halaman rumah, di tempat penyimpanan
beras dan di dapur.
"Upacara ini sendiri aslinya menggunakan baju
dan celana putih sebagai simbol peralihan dari lajang ke pernikahan.
Tapi, untuk perempuan biasanya digunakan bawahan berupa kain batik motif
onde," papar pemilik nama keluarga Kwa Kian Hauw.
Upacara
dimulai dengan kedua orangtua perempuan yang dipimpin seorang juru rias,
bersembahyang di depan meja Sam Kay (meja sesaji) untuk memohon restu
dari Sang Pencipta. Setelah itu sembahyang dilanjutkan di dalam rumah,
di depan meja leluhur. Setelah selesai, barulah cadar dipasangkan kepada
mempelai wanita sebelum ia dijemput mempelai pria dan keluarganya.
Upacara
Chio-Tau juga dilakukan di tempat mempelai pria. Setelah prosesi ini
dilanjutkan dengan pemberian modal yang dilakukan oleh handai taulan
mempelai pria. Kemudian, berlanjut lagi dengan prosesi makan 12 mangkuk
sebelum mempelai pria menjemput mempelai wanita untuk melakukan prosesi
Teh-Pai.
Sambil menunggu kedua mempelai datang, para tamu di
rumah mempelai pria dipersilahkan menikmati aneka panganan yang
disediakan. Berbagai macam kue, mulai dari pepe, bika ambon, kue ku, kue
bugis, apem cukit, dan aneka kue lainnya terhidang di meja.
"Setiap
kue yang disuguhkan memiliki makna khusus. Misalnya kue pepe yang
bertekstur lengket, memiliki makna agar kedua mempelai bisa lengket
terus," ungkapnya.
Lain halnya dengan kue ku yang berbentuk
seperti kura-kura, merupakan lambang harapan agar kedua mempelai dapat
terus bersama sampai tua. Kue mangkok sendiri dianalogikan sebagai
bentuk cinta kedua mempelai yang diharapkan terus mekar dan berbunga.
Setelah
mempelai wanita sudah hadir di depan pintu di depan rumah mempelai
pria, dilakukan prosesi saweran. Para tamu dipersilahkan untuk berada di
depan pasangan mempelai memperebutkan uang logam yang disebar oleh
nenek dari pihak mempelai pria.
Setelah itu, acara dilanjutkan di
kamar pengantin. Di sini, mempelai wanita secara simbolis membuka
kancing pakaian mempelai pria, sementara mempelai pria mengambil kembang
goyang yang menghiasi rambut kepala mempelai wanita.
Setelah
kedua mempelai keluar dari kamar pengantin, acara dilanjutkan dengan
upacara Teh-Pai. Dalam prosesi yang satu ini, kedua mempelai harus
memberikan satu cangkir teh kepada orangtua, sanak famili, atau para
kerabat untuk diminum sebagai tanda penghormatan. Sebagai balasan,
mereka akan memberikan angpao kepada kedua mempelai.
"Setelah upacara ini selesai, barulah kedua mempelai meninggalkan rumah mempelai pria dan prosesi ini pun berakhir," pungkasnya