Showing posts with label TRADISI TIONGHOA. Show all posts
Showing posts with label TRADISI TIONGHOA. Show all posts

Kebahagiaan Ganda


Sebuah karakter Tionghoa yang banyak dikenal, Kebahagiaan Ganda, yang tertera pada kertas merah atau potongan kertas selalu ada pada saat pernikahan.

Terdapat asal usul dibalik itu.

Pada masa Dinasti Tang, terdapat seorang pelajar yang ingin pergi ke Ibukota untuk mengikuti ujian negara, dimana yang menjadi juara satu dapat menempati posisi menteri.

Sayangnya, pemuda itu tersebut jatuh sakit di tengah jalan saat melintasi sebuah desa di pegunungan. Untung seorang tabib dan anak perempuannya membawa pemuda itu ke rumah mereka dan merawat sang pelajar. Pemuda tersebut dapat sembuh dengan cepat berkat perawatan dari tabib dan anak perempuannya.

Setelah sembuh, pelajar itu harus meninggalkan tempat tersebut untuk melanjutkan perjalanan ke Ibukota. Namun pelajar itu mengalami kesulitan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada anak perempuan sang tabib, begitu juga sebaliknya. Mereka saling mencintai.

Maka gadis itu menulis sepasang puisi yang hanya sebelah kanan agar pemuda itu melengkapinya, “Pepohonan hijau dibawah langit pada hujan musim semi ketika langit menutupi pepohonan dengan gerhana”

Setelah membaca puisi tersebut, sang pelajar berkata, “Baiklah, saya akan dapat mencapainya meskipun bukan hal yang mudah. Tetapi kamu harus menunggu sampai aku selesai ujian”. Sang gadis mengangguk-angguk.

Pada ujian negara, sang pelajar mendapatkan tempat pertama, yang mana sangat dihargai oleh kaisar. Pemuda itu juga bercakap-cakap dan diuji langsung oleh kaisar.

Keberuntungan ternyata pada pihak sang pemuda.

Kaisar menyuruh pemuda itu agar membuat sepasang puisi.

Sang kaisar menulis: “Bunga-bunga merah mewarnai taman saat angin memburu ketika taman dihiasai warna merah setelah sebuah ciuman”.

Pemuda itu langsung menyadari bahwa puisi yang ditulis oleh sang gadis sangat cocok dengan puisi kaisar, maka ia menulis puisi sang gadis sebagai pasangan puisi kaisar.

Kaisar sangat senang melihat bahwa puisi yang ada merupakan sepasang puisi yang harmonis dan serasi sehingga ia menobatkan pemuda itu sebagai menteri di pengadilan dan mengijinkan pemuda itu untuk mengunjungi kampung halamannya sebelum menduduki posisinya.

Pemuda itu menjumpai sang gadis dengan gembira dan memberitahu kepada sang gadis puisi dari kaisar.

Tidak lama kemudian mereka menikah.

Untuk pesta perayaan pernikahan, sepasang karakter Tionghoa, bahagia, dipasang bersamaan pada selembar kertas merah dan ditempel di dinding untuk menunjukkan kebahagiaan dari dua kejadian yang bersamaan, pernikahan dan pengangkatan sang pemuda.

Sejak saat itu, tulisan Kebahagiaan Ganda menjadi sebuah tradisi yang dilakukan pada setiap pesta pernikahan.


Cadar Merah Pada Pengantin Wanita


Pada pesta pernikahan tradisional Tionghoa, pengantin wanita terlihat memakai cadar berwarna merah untuk menutupi muka. Cadar itu biasanya terbuat dari sutra.
Cadar Merah pada Pengantin Wanita Tradisi ini berasal dari masa Dinasti Utara dan Selatan. Dimana pada masa itu para petani wanita mengenakan kain pelindung kepala untuk perlindungan dari terpaan angin atau panasnya matahari ketika sedang bekerja di ladang. Kain itu dapat berwarna apa saja, yang penting mampu menutupi bagian atas kepala. Kebiasaan ini lambat laun menjadi sebuah tradisi.
Pada awal Dinasti Tang, kain tersebut menjadi sebuah cadar panjang hingga ke bahu. Dan tidak lagi hanya dipakai oleh petani wanita.
Pada saat pemerintahan Kaisar Li Jilong dari Dinasti Tang, ia membuat keputusan bahwa semua pembantu wanita istana yang masih dalam masa penantian harus mengenakan cadar untuk menutupi muka. Tidak lama kebiasaan tersebut menjadi sebuah tradisi.
Lama kelamaan kebiasaan memakai cadar itu diterapkan pada pesta pernikahan. Pemakaian cadar pada pengantin wanita dengan tujuan agar kecantikan pengantin wanita tidak menjadi perhatian lelaki lain, dan pengantin pria ingin agar pengantin wanita terlihat anggun.
Pengantin wanita menerima pemakaian cadar itu untuk menunjukkan kesetiaan kepada pengantin pria.
Sejak masa Lima Dinasti (Later Jin), pemakaian cadar menjadi sebuah keharusan pada setiap pesta pernikahan. Warna cadar itu selalu merah yang mewakili kebahagiaan.


Mempertahankan Tradisi Luhur Cina

Mempertahankan Tradisi Luhur Cina SEPERTI halnya kebudayaan-kebudayaan lain, etnis Tionghoa pun memiliki tata cara tersendiri dalam hal pernikahan. Namun, seiring derasnya arus modernisasi, pengaruh budaya asing kini mendominasi acara pernikahan masyarakat Tionghoa. Di Indonesia sendiri hanya di beberapa daerah tertentu saja tata cara tradisional untuk pernikahan masyarakat Tionghoa masih tetap dipertahankan.

Menurut pengamat budaya Tionghoa di Indonesia, David Kwa, salah satu yang masih memelihara tradisi tata cara pernikahan Tionghoa adalah daerah Tangerang.

"Di sana busana pengantin tradisional Tionghoa Hwa Kun yang konon sudah punah di daerah daratan Tiongkok masih tetap digunakan," kata David ketika ditemui okezone dalam acara Living In Harmony, The Chinese Heritage in Indonesia, di Mal Ciputra, Jakarta Barat, Selasa (5/2/2008) sore.

David menambahkan, ciri khas busana tradisional pengantin ini adalah adanya riasan kepala dan belasan tusuk konde, daster hijau, serta kain merah bermotif dengan sulaman emas untuk pengantin perempuan. Pemakaian tusuk konde bunga bergoyang ini sendiri sebenarnya diserap dari kebudayaan Betawi. Untuk mengenakan pakaian ini, sang mempelai wanita akan dibantu oleh seorang juru rias dan seorang kenek (pembantu juru rias) yang mempersiapkan sesaji hingga seluruh rangkaian acara selesai.

"Kebudayaan Betawi, Melayu, dan Sunda memengaruhi China peranakan, kalau ada kembang goyangnya dari pengaruh Melayu, tapi kalau hiasan lain itu Tionghoa," ucap pria keturunan itu. Pakaian untuk pengantin Tionghoa berasal dari Dinasti Qing (1644-1911), karena orang Tionghoa yang banyak datang ke Indonesia berasal dari periode tersebut.

Setelah mempelai wanita selesai berpakaian, barulah ritual yang disebut upacara Chio-Tau dimulai. Pertama kalinya sesaji ditetakkan di tempat penyimpanan beras, di ruang dapur, dan meja abu leluhur. Setelah itu upacara dimulai di meja abu, di halaman rumah, di tempat penyimpanan beras dan di dapur.

"Upacara ini sendiri aslinya menggunakan baju dan celana putih sebagai simbol peralihan dari lajang ke pernikahan. Tapi, untuk perempuan biasanya digunakan bawahan berupa kain batik motif onde," papar pemilik nama keluarga Kwa Kian Hauw.

Upacara dimulai dengan kedua orangtua perempuan yang dipimpin seorang juru rias, bersembahyang di depan meja Sam Kay (meja sesaji) untuk memohon restu dari Sang Pencipta. Setelah itu sembahyang dilanjutkan di dalam rumah, di depan meja leluhur. Setelah selesai, barulah cadar dipasangkan kepada mempelai wanita sebelum ia dijemput mempelai pria dan keluarganya.

Upacara Chio-Tau juga dilakukan di tempat mempelai pria. Setelah prosesi ini dilanjutkan dengan pemberian modal yang dilakukan oleh handai taulan mempelai pria. Kemudian, berlanjut lagi dengan prosesi makan 12 mangkuk sebelum mempelai pria menjemput mempelai wanita untuk melakukan prosesi Teh-Pai.

Sambil menunggu kedua mempelai datang, para tamu di rumah mempelai pria dipersilahkan menikmati aneka panganan yang disediakan. Berbagai macam kue, mulai dari pepe, bika ambon, kue ku, kue bugis, apem cukit, dan aneka kue lainnya terhidang di meja.

"Setiap kue yang disuguhkan memiliki makna khusus. Misalnya kue pepe yang bertekstur lengket, memiliki makna agar kedua mempelai bisa lengket terus," ungkapnya.

Lain halnya dengan kue ku yang berbentuk seperti kura-kura, merupakan lambang harapan agar kedua mempelai dapat terus bersama sampai tua. Kue mangkok sendiri dianalogikan sebagai bentuk cinta kedua mempelai yang diharapkan terus mekar dan berbunga.

Setelah mempelai wanita sudah hadir di depan pintu di depan rumah mempelai pria, dilakukan prosesi saweran. Para tamu dipersilahkan untuk berada di depan pasangan mempelai memperebutkan uang logam yang disebar oleh nenek dari pihak mempelai pria.

Setelah itu, acara dilanjutkan di kamar pengantin. Di sini, mempelai wanita secara simbolis membuka kancing pakaian mempelai pria, sementara mempelai pria mengambil kembang goyang yang menghiasi rambut kepala mempelai wanita.

Setelah kedua mempelai keluar dari kamar pengantin, acara dilanjutkan dengan upacara Teh-Pai. Dalam prosesi yang satu ini, kedua mempelai harus memberikan satu cangkir teh kepada orangtua, sanak famili, atau para kerabat untuk diminum sebagai tanda penghormatan. Sebagai balasan, mereka akan memberikan angpao kepada kedua mempelai.

"Setelah upacara ini selesai, barulah kedua mempelai meninggalkan rumah mempelai pria dan prosesi ini pun berakhir," pungkasnya


Asal usul adanya Ciam Sie dan persembahan pada Dewa

Ciam Sie

Pada jaman dahulu sudah banyak orang-orang yang datang ke klenteng mencari Guru-Guru agama untuk meminta bantuan atau pertolongan. Ada yang menanyakan nasib dan jodoh mereka, dan ada juga untuk penyembuhan penyakit-penyakit serta meminta obat-obatan.
Tetapi pada bulan bulan-bulan tertentu, para Guru itu tidak ada di klenteng karena mencari obat-obatan di hutan atau di pegunungan, seperti ginseng, jamur, dan lain-lainnya. Dalam pencarian obat ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.
Untuk itu para Guru membuat Ciam Sie supaya masyarakat atau orang-orang yang datang dari jauh tidak kecewa karena Gurunya tidak berada di tempat.
Masyarakat yang tertolong kemudian membawa oleh-oleh untuk Guru tersebut sebagai tanda terima kasih. Karena Guru-Guru tidak berada di tempat, maka diletakkan di atas meja sembahyang. Ada juga yang datang membawa persembahan kepada Dewa.
Dari sinilah timbulnya kebiasaan mempersembahkan sesuatu kepada Dewa. Pemberian persembahan kepada Dewa ini kemudian menimbulkan persaingan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga timbullah persembahan Sam Seng.
Di mana menurut pandangan masyarakat waktu itu Sam Seng mewakili 3 jenis hewan di dunia, yaitu babi untuk hewan darat, ikan untuk hewan laut, dan ayam untuk hewan udara. Demikianlah persembahan ini berlangsung secara turun-menurun sampai sekarangpun masih ada.
Menurut anda, dapat dibenarkankah persembahan Sam Seng ini?
Sebenarnya Sam Seng tidak digunakan sebagai persembahan kepada Dewa.
Apa alasannya?
Mari kita pikirkan masing-masing.
Jadi cukup dengan buah-buahan saja, antara lain: apel, pear, jeruk, anggur, dll. Yang penting adalah buah-buahan yang segar dan tidak berduri serta serasi dipandang mata.
Demikianlah cerita asal usul adanya Ciam Sie dan persembahan pada Dewa, semoga bermanfaat.


Kebahagiaan Ganda

Sebuah karakter Tionghoa yang banyak dikenal, Kebahagiaan Ganda, yang tertera pada kertas merah atau potongan kertas selalu ada pada saat pernikahan.
Terdapat asal usul dibalik itu.
Pada masa Dinasti Tang, terdapat seorang pelajar yang ingin pergi ke Ibukota untuk mengikuti ujian negara, dimana yang menjadi juara satu dapat menempati posisi menteri.
Sayangnya, pemuda itu tersebut jatuh sakit di tengah jalan saat melintasi sebuah desa di pegunungan. Untung seorang tabib dan anak perempuannya membawa pemuda itu ke rumah mereka dan merawat sang pelajar. Pemuda tersebut dapat sembuh dengan cepat berkat perawatan dari tabib dan anak perempuannya.
Setelah sembuh, pelajar itu harus meninggalkan tempat tersebut untuk melanjutkan perjalanan ke Ibukota. Namun pelajar itu mengalami kesulitan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada anak perempuan sang tabib, begitu juga sebaliknya. Mereka saling mencintai.
Maka gadis itu menulis sepasang puisi yang hanya sebelah kanan agar pemuda itu melengkapinya, “Pepohonan hijau dibawah langit pada hujan musim semi ketika langit menutupi pepohonan dengan gerhana”
Setelah membaca puisi tersebut, sang pelajar berkata, “Baiklah, saya akan dapat mencapainya meskipun bukan hal yang mudah. Tetapi kamu harus menunggu sampai aku selesai ujian”. Sang gadis mengangguk-angguk.
Pada ujian negara, sang pelajar mendapatkan tempat pertama, yang mana sangat dihargai oleh kaisar. Pemuda itu juga bercakap-cakap dan diuji langsung oleh kaisar.
Keberuntungan ternyata pada pihak sang pemuda.
Kaisar menyuruh pemuda itu agar membuat sepasang puisi.
Sang kaisar menulis: “Bunga-bunga merah mewarnai taman saat angin memburu ketika taman dihiasai warna merah setelah sebuah ciuman”.
Pemuda itu langsung menyadari bahwa puisi yang ditulis oleh sang gadis sangat cocok dengan puisi kaisar, maka ia menulis puisi sang gadis sebagai pasangan puisi kaisar.
Kaisar sangat senang melihat bahwa puisi yang ada merupakan sepasang puisi yang harmonis dan serasi sehingga ia menobatkan pemuda itu sebagai menteri di pengadilan dan mengijinkan pemuda itu untuk mengunjungi kampung halamannya sebelum menduduki posisinya.
Pemuda itu menjumpai sang gadis dengan gembira dan memberitahu kepada sang gadis puisi dari kaisar.
Tidak lama kemudian mereka menikah.
Untuk pesta perayaan pernikahan, sepasang karakter Tionghoa, bahagia, dipasang bersamaan pada selembar kertas merah dan ditempel di dinding untuk menunjukkan kebahagiaan dari dua kejadian yang bersamaan, pernikahan dan pengangkatan sang pemuda.
Sejak saat itu, tulisan Kebahagiaan Ganda menjadi sebuah tradisi yang dilakukan pada setiap pesta pernikahan.

Tradisi Cap Goh Me

Asal usul Cap Go Meh dengan tradisi pasang lampionnya pun juga Konon dimulai pada tahun 180 Sebelum Masehi, disaat Dinasti Han Barat Kaisar Han Wendi naik takhta pada tanggal 15 bulan pertama Imlek.
 Perayaan 元宵節 Yuan Xiao Jie, di Indonesia dikenal dengan sebutan Perayaan Cap Go Me, diperingati pada tanggal 15 bulan 1 Imlek merupakan penutup dalam rangkaian perayaan menyambut Sin Cia (Tahun Baru Imlek).. Cap Go Me berasal dari bahasa Mandarin dialek Hok Kian. Mandarin : 十五晚 Shi Wu Wan, Hok Kian : Cap Go Me, yang berarti malam hari pada tanggal 15 bulan 1 Imlek. Di Tiongkok perayaan ini dikenal dengan nama 元宵節 Yuan Xiao Jie. Di Malaysia & sekitarnya menyebut Cap Go Me sebagai Hari Kasih Sayang China atau Valentine China.

Cara merayakan Cap Go Me ini berbeda di setiap negara. Di Malaysia: Perempuan yang belum menikah melemparkan jeruk di pinggir kali memohon agar cepat dapat jodoh. Jika laki-laki yang belum mendapat jodoh melemparkan apel ke pinggir kali. Kebiasaan ini tampaknya tidak ada di negara kita. Namun perayaan Cap Go Me dirayakan dengan sangat meriah di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu perayaan yang sangat meriah dilangsungkan di Singkawang, Kalimantan Barat, di mana event Cap Go Me ini sudah masuk dalam kalender rutin kegiatan daerah. Selain diramaikan oleh atraksi Liong, Barongsai, dan Gotong Toa Pe Kong, perhelatan juga diisi oleh para tatung yang mempertontonkan kekuatan tubuhnya terhadap berbagai senjata tajam. Benar-benar meriah & ramai. Ini merupakan salah satu keunikan yang ada di negara kita, dan memperkaya keanekaragaman budaya di Indonesia.

Di Negara asalnya Tiongkok, perayaan Cap Go Me terkenal dengan sebutan元宵節 Yuan Xiao Jie {Hok Kian : Gwan Siao}. Perayaan ini pernah dilakukan secara besar-besaran di masa Dinasti Tong [618 – 907 M] saat pemerintahan Kaisar Tong Kwee Cong (710 – 712 M). Kaisar ketika itu membuat ratusan pohon tinggi untuk dipasangi 50.000 buah lilin. Pohon ini belakangan dikenal dengan sebutan Go San. Pada setiap perayaan Cap Go Me, Kaisar selalu mempersilakan masyarakat ke istana sambil membawa lampion. Ini sulit terjadi jika bukan karena perayaan Cap Go Me. Rakyat berbondong-bondong masuk ke istana untuk minta berkah keselamatan & panjang umur.

Dalam Taoisme perayaan Cap Go Me ini disebut Shang Yuan untuk memperingati Se Jit (hari lahir) salah satu dari Maha Dewa 三關大帝 San Guan Da Di {Hok Kian = Sam Kwan Tay Te} yaitu Tian Guan. Pada hari ini mereka mengharap berkah dari Tian Guan (Shang Yuan Tian Guan Ci Fu).

Sebutan untuk Maha Dewa 三關大帝 San Guan Da Di {Sam Kwan Tay Te} ada bermacam-macam :

Pertama, sebutan 三元 San Yuan {Hok Kian = Sam Gwan}. Sebutan ini menunjukkan waktu tiga Kaisar Kuno turun ke dunia, yaitu :

    Cia Gwe Cap Go (tgl 15 bulan 1 Imlek) = Shang Yuan {Hok Kian = Siang Gwan}
    Cit Gwe Cap Go (tgl 15 bulan 7 Imlek) = Zhong Yuan {Hok Kian = Tiong Gwan}
    Cap Gwe Cap Go (tgl 15 bulan 10 Imlek) = Xia Yuan {Hok Kian = He Gwan}

Kedua, adalah 三元公 San Yuan Gong {Sam Gwan Kong}. Ini adalah sebutan penuh penghormatan kepada 3 orang Kaisar Kuno yang terkenal yaitu : Kaisar 堯 Yao {Hok Kian = Giauw}, Kaisar 舜 Shun {Sun}, dan Kaisar 禹 Yu {Ie}.

Kaisar Yao [ 2357 SM – 2258 SM ] adalah seorang Kaisar yang terkenal karena kesederhanaannya & amat memperhatikan kepentingan rakyat. Konon tempat tinggal beliau bukanlah sebuah istana yang gemerlapan seperti umumnya seorang raja, tetapi beliau lebih menyukai tinggal di sebuah rumah sederhana yang beratap rumbia & tiangnya terdiri dari kayu hutan biasa, tanpa dicat. Makannya adalah beras kasar dengan sayur-sayuran sederhana & minumnya hanyalah dari sumber air di gunung. Pakaian yang dikenakannya hanya terdiri dari kain kasar, bila cuaca dingin ditambah dengan mantel dari kulit rusa.

Jika rakyatnya ada yang tertimpa kelaparan, Kaisar Yao berkata : “Akulah yang menyebabkan kalian lapar”. Bila ada rakyatnya yang kedinginan karena tidak memiliki pakaian cukup, Kaisar Yao akan berkata : “Akulah yang menyebabkan kalian tidak dapat berpakaian cukup”, & bila di dalam negerinya ada seorang yang berbuat kesalahan, Kaisar Yao akan berkata : “Akulah yang menyebabkan kalian sampai terjerumus ke dalam lembah kejahatan”. Demikian bajiknya Kaisar Yao, sampai semua kesalahan & kesengsaraan rakyat dianggap adalah tanggung jawabnya sendiri.

Oleh karena itulah pada masa pemerintahannya yang hampir 100 (seratus) tahun lamanya ini, walaupun ada bencana kekeringan yang hebat & banjir yang dahsyat, rakyat tidak pernah menggerutu & tetap mencintainya. Karena kebajikannya inilah, konon dalam istananya yaitu rumah sederhana yang beratap rumbia, sering muncul gejala alam yang merupakan pertanda baik, seperti munculnya Burung Hong yang bertengger di atap, rumput yang disediakan untuk kuda mendadak berubah menjadi padi, dan lain-lain.

Selain dirinya adalah seorang Kaisar yang bijaksana, Kaisar Yao juga dibantu oleh sejumlah menteri yang benar-benar cakap. Salah satunya ada seorang menteri yang pandai yaitu Shun, yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Ketika mengundurkan diri dari tahta, Kaisar Yao memilih Shun sebagai penggantinya. Kaisar Yao tidak mewariskan kedudukannya kepada putranya, karena sang putra dianggap tidak mampu.

Tak lama setelah melahirkan Shun, ibu Shun meninggal dunia. Lalu ayah Shun menikah lagi. Istri baru ini melahirkan Xiang, adik tiri Shun. Ayah Shun amat sayang kepada istri kedua & anaknya, Xiang, tapi Shun ditelantarkan & dibiarkan mengerjakan pekerjaan yang berat. Ibu tirinya seringkali memukul Shun, bahkan sering berusaha menganiaya Shun sampai mati, tapi Shun tetap taat & berbakti kepada kedua orangtuanya.

Akhirnya karena deritanya sudah tak tertahankan, Shun melarikan diri dari rumahnya & tinggal di sebuah gubuk reyot di kaki gunung Li Shan. Di sana ia seorang diri bercocok tanam. Karena pribadinya yang baik & rajin ini, seekor gajah putih & burung-burung pun datang membantu.



Shun seringkali mengajar para petani sekitar tempat itu bagaimana cara bercocok tanam, menangkap ikan, & membuat perabot rumah tangga dari tanah liat, sehingga mereka amat mencintai Shun. Kemudian para petani & perajin tanah liat dari tempat lain datang & bertempat tinggal di situ. Maka lama kelamaan tempat itu berubah menjadi sebuah desa kecil yang ramai. Setahun kemudian desa kecil tersebut berubah menjadi sebuah kota kecil, & 3 tahun kemudian berkembang menjadi sebuah kabupaten.

Pada saat itu Kaisar Yao sedang mencari orang yang bijaksana untuk menjadi pembantunya. Karena tertarik oleh kepribadian Shun, maka Kaisar Yao mengangkat Shun menjadi menantunya. Walaupun telah menjadi menantu Raja, Shun tidak melupakan ayahanda & ibu tirinya. Shun tidak mendendam kepada mereka, walaupun dulu mereka memperlakukan Shun amat keterlaluan. Bakti Shun terhadap orangtua tetap tidak berubah, meskipun sekarang ia hidup berkecukupan.

Karena iri hati melihat kehidupan Shun, adik tiri & ibu tirinya berkali-kali berusaha membunuh Shun, tetapi usaha mereka gagal. Tiap kali pula Shun memaafkan mereka, & sama sekali tidak menaruh dendam. Karena pribadi yang luhur inilah akhirnya Kaisar Yao mewariskan tahtanya & mengangkat Shun sebagai Kaisar yang baru. Setelah naik tahtapun, Kaisar Shun tidak lupa mengunjungi kedua orangtuanya seperti sedia kala.

Pada masa pemerintahan Kaisar Shun [ 2225 SM – 2208 SM ], beliau bekerja keras untuk menyejahterakan rakyatnya. Kaisar Shun amat mencintai kesenian. Beliau banyak menciptakan alat musik, a.l. : Sheng (alat musik Tionghoa yang terdiri dari 13 batang pipa bambu yang panjang & pendeknya tidak sama), kecapi yang mempunyai 23 senar, & alat musik halus lainnya. Musik gubahannya disebut Xiao Shao. Konon jika konser Xiao Shao ini dimainkan, mendengar suara merdu ini sampai-sampai burung Feng Huang {Hong Hong} datang di atasnya & menari-nari.

Pada waktu Nabi Khong Hu Cu mendengar musik ini, tiada henti-hentinya memuji & berkata bahwa gubahan irama Xiao Shao amat indah & arif. Jika dibandingkan dengan irama Wu (gubahan Zhou Wu Wang dari Dinasti Zhou), walaupun indah tetapi masih kurang arif. Xiao Shao lebih membuat orang terharu. Jika dalam keadaan sendiri, Kaisar Shun gemar memetik kecapi bersenar 5, sambil mendendangkan lagu gubahannya yang disebut Nan Feng (Angin Selatan).

Pada masa pemerintahan Kaisar Shun terjadi bencana banjir yang dahsyat. Banyak rakyat yang tewas & kehilangan tempat tinggal. Kaisar Shun amat sedih memikirkan penderitaan rakyatnya.

Akhirnya muncullah Yu, seorang gagah berani yang berhasil menanggulangi banjir besar itu. Kaisar Shun sangat kagum akan kemampuan Yu mengorganisir pekerjaan raksasa itu. Yu berada pada posisi terdepan dalam memimpin rakyat 9 propinsi yang terkena musibah. Dengan membawa sekop berujung garpu ia menerjang badai & hujan, dengan gagah berani ia membuat saluran & mengeruk dasar sungai, sampai akhirnya banjir itu surut. Selama 13 (tiga belas) tahun ia berjuang keras mengatasi banjir, 3 X ia melewati depan rumahnya tanpa mampir ataupun menengok, karena khawatir menelantarkan tugasnya.

Atas pengorbanan Yu yang besar kepada rakyat ini, Kaisar Shun lalu mewariskan tahta kepadanya. Yu adalah lambang kebijaksanaan & pengorbanan tanpa mengingat kepentingan pribadi.

Kaisar Yu memerintah tahun 2205 SM – 2198 SM. Kaisar Yu mendirikan Dinasti Xia, yang merupakan Dinasti pertama di Tiongkok.

Kaisar Yao, Shun & Yu ini menjadi contoh ideal Kong Zi {Khong Hu Cu}, Meng Zi {Beng Cu}, dan para ahli filsafat lainnya dalam mengajar kepada murid-muridnya, dan juga sering digunakan oleh para ahli filsafat tersebut untuk memberi teladan bagi kaisar-kaisar yang bertahta kemudian.

Oleh rakyat, Kaisar Yao, Shun & Yu dipuja sebagai Tian Guan, Ti Guan dan Shui Guan. Mereka bertiga disebut San Yuan Gong dan kelentengnya banyak tersebar di mana-mana. Mereka dipuja sebagai Dewa yang mengawasi perbuatan baik buruk manusia dan Dewa pelindung kehidupan.

Ketiga, sebutan 三官 San Guan {Hok Kian = Sam Kwan}. Sebutan ini ditinjau dari pangkatnya, yaitu: Tian Guan, Di Guan, Shui Guan, yang merupakan pemberi berkah, pengampunan dosa & pelindung dari bencana & malapetaka.

Keempat, terkenal dengan sebutan 三官大帝 San Goan Da Di {Hok Kian = Sam Kwan Tai Te}. Gelar ini diberikan oleh Maha Dewa 元始天尊 Yuan Shi Tian Zun.

Tian Guan diberi gelar Zi Wei Da Di {Hok Kian = Ci Wi Tai Te}.

Di Guan diberi gelar Qing Xu Da Di {Hok Kian = Ching Hi Tai Te}

Shui Guan diberi gelar Dong Xu Da Di {Hok Kian = Thong Hi Tai Te}

Ketiga Da Di ini secara bersama-sama disebut San Guan Da Di.

Arca-arca San Guan Da Di banyak terdapat di dalam kelenteng, baik di daratan Tiongkok, Hongkong maupun negara-negara di kawasan Asia. Di Taiwan terutama di Tai Nan ada 3 kelenteng yang khusus menghormati San Guan Da Di, yaitu San Guan Tang, San Jie Tang & San Guan Da Di Miao. Di Jawa penghormatan kepada San Guan Da Di, selain di kelenteng Kim Tek Ie, Jakarta juga terdapat di kelenteng Tiauw Kak Si, Cirebon, & kelenteng Tay Kak Si, Semarang.

Sumber

Tradisi Tionghoa Untuk Mengatasi Anak Yang Menangis Di Malam Hari

Sebagai orang tua tentunya akan cemas ketika anak-anak mengalami penyakit atau kondisi yang tidak jelas dan pihak medis sulit untuk mengatasi masalah tersebut terutama untuk bayi dan balita. 

Dalam tradisi Tionghoa , paling tidak Tionghoa di Singkawang contohnya ada beberapa hal yang biasa dilakukan. 
Salah satunya adalah Se Sha Sui 洗赦水 . Sha Sui adalah sejenis herbal atau tumbuhan yang dijemur dan biasanya mempunyai duri . Sha Sui ini kegunaannya dapat dipakai saat memandikan anak yang biasanya terkena qi negatif sehabis mengunjungi rumah duka. 
Orang tua yang baru melayat kemudian pulang kerumah dan kebetulan punya anak yang masih balita dapat menggunakan cara tersebut untuk gejala terkena "sha" , yaitu gejala menangis ditengah malam sehabis jam 12. 
Metode lain adalah Hem Fu atau Ham Fun 喊 魂 . Ham artinya memanggil dan fun adalah roh. Ham Fun adalah penggunaan mantera dimana nama dan lokasi bayi tersebut berada. Bayi yang gejalanya rewel dan sering menangis baik tengah malam ataupun terkena shock yang dalam bahasa Hakka disebut Hak to ( 吓倒).

Hamfun biasanya dilakukan oleh yang dituakan atau orang pintar dengan membakar sebatang hio ditengah pintu rumah atau halaman rumah dengan membawa bayinya untuk dipanggil kembali rohnya yang terkena hakto. 


Metode lain mengunakan hu yang dibuat oleh lauya dengan diletakkan diatas bantal yang akan ditiduri oleh bayi tersebut. Dan keesokan harinya dibakar untuk dimandikan bersama Sha Sui yang ditambahi  mat cho ( rumput mat), sie miong atau daun ilalang.
Jadi konsepnya adalah  menguatkan po tubuh dan mengusir po luar. Hun dan po anak kecil masih belum stabil dan terpadu. Hun dan po bisa buyar atau kabur karena keluar dari keharmonisan karena gangguan yang berasal dari luar misalnya terkejut atau trauma terjatuh . 
Demikian tiga hal yang biasa dilakukan oleh Tionghoa yang berada di Singkawang . Mungkin teman-teman disini bisa menambahkan hal-hal lain.


Sumber

Tradisi Perayaan Ceng Beng, Sembahyang Kubur Leluhur Tionghoa

Cheng Beng,Hari Penghormatan Leluhur

Setiap tanggal 5 April, menurut tradisi Tionghoa, adalah hari Cheng Beng (Mandarin: Qingming). Di mana menurut tradisi Tionghoa, orang akan beramai-ramai pergi ke tempat pemakaman orang tua atau para leluhurnya untuk melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan ini dilakukan dengan berbagai jenis, misalnya saja membersihkan kuburan, menebarkan kertas sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan Gincua (mandarin:Yinzhi=kertas perak).

Cheng beng adalah salah satu dari 24 Jieqi yang ditentukan berdasarkan posisi bumi terhadap matahari. Pada Kalender Gregorian AWAL (bukan akhir!) Cheng beng jatuh pada tanggal 5 April atau 4 April. Bila kita artikan kata Cheng beng, maka Cheng berarti cerah dan Beng artinya terang sehingga bila digabungkan maka Chengbeng berarti terang dan cerah. Saat Chengbeng ideal untuk berziarah dan membersihkan makam karena cuaca yang bagus (cuaca cerah, langit terang). Apalagi pada jaman dahulu lokasi pemakaman cukup jauh dari tempat pemukiman.

Bahkan bila ada orang yang tinggal jauh dari kampung halamannya,mereka akan berusaha untuk pulang ke kampung halamannya,khusus untuk melakukan upacara penghormatan para leluhur.

Sejarah Cheng Beng

Sejarah Cheng beng dimulai sejak dulu kala dan sulit dilacak kapan dimulainya. Pada dinasti Zhou, awalnya tradisi ini merupakan suatu upacara yang berhubungan dengan musim dan pertanian serta pertanda berakhirnya hawa dingin (bukan cuaca) dan dimulainya hawa panas.

Ada sebuah syair yang menggambarkan bagaimana cheng beng itu yaitu:
“Sehari sebelum cheng beng tidak ada api” atau yang sering disebut Hanshijie (han: dingin, shi:makanan, jie: perayaan/festival).Hanshijie adalah hari untuk memperingati Jie Zitui yang tewas terbakar di gunung Mianshan. Jin Wengong (raja muda negara Jin pada periode Chunqiu akhir dinasti Zhou) memerintahkan rakyat untuk tidak menyalakan api pada hari tewasnya Jie Zitui. Semua makanan dimakan dalam kondisi dingin, sehingga disebut perayaan makanan dingin.

Chengbeng lebih tepat jika dikatakan terjadi pada tengah musim semi. Pertengahan musim semi (Chunfen) sendiri jatuh pada tanggal 21 Maret, sedangkan awal musim panas (Lixia) jatuh pada tanggal 6 Mei. Sejak jaman dahulu hari cheng beng ini adalah hari untuk menghormati leluhur.

Pada dinasti Tang, hari cheng beng ditetapkan sebagai hari wajib untuk para pejabat untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal, dengan mengimplementasikannya berupa membersihkan kuburan para leluhur, sembahyang dan lain-lain.

Di dinasti Tang ini, implementasi hari cheng beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan.Yang hilang adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan. Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit telur. Permainan layang-layang dilakukan pada saat Chengbeng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang,kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang. Sedangkan pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu.

Pada dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini disebut burung walet Zitui. Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming.

Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang, kaisar pendiri dinasti Ming,untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyatpun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia menemukannya.

Kenapa pada hari cheng beng itu harus membersihkan kuburan?

Itu berkaitan dengan tumbuhnya semak belukar yang dikawatirkan akar-akarnya akan merusak tanah kuburan tersebut. Juga binatang-binatang akan bersarang di semak tersebut sehingga dapat merusak kuburan itu juga.Dikarenakan saat itu cuaca mulai menghangat, maka hari itu dianggap hari yang cocok untuk membersihkan kuburan. Selain cerita di atas, ada pula tradisi dimana jika orang yang merantau itu ketika pulang pada saat cheng beng, orang itu akan mengambil tanah tempat lahirnya dan menaruh di kantong merah. Ketika orang tersebut tiba lagi di tanah tempat ia merantau, ia akan menorehkan tanah tersebut ke alas kakinya sebagai perlambang bahwa ia tetap menginjak tanah leluhurnya.

Dhamma, antara tradisi dan ajaran Sejak lahirnya apa yang disebut ‘agama Buddha’ dari ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, sudah berkembang dan bercampur dengan tradisi setempat,sehingga sulit dikatakan mana yang ‘benar-benar’ ajaran Sang Buddha dan mana yang bukan.

Banyak orang Tionghoa masih melakukan tradisi secara turun menurun seperti Cheng Beng. Dengan menyadari hal ini, kita dituntut kebijaksanaan kita agar dapat membedakan mana yang sebenarnya tradisi dan mana yang Ajaran Buddha. Tetapi juga tidak salah kita tetap menjalankan tradisi, yang penting kita harus tahu dan memilah-milah antara tradisi dan agama Buddha. Sang Buddha sendiri tidak menolak bila kita mempertahankan tradisi yang sudah ada sejak turun menurun, yang penting kita jalankan adalah untuk kebaikan satu dan banyak orang.

Di dalam Sigalovada Sutta juga, Buddha sudah menjelaskan tentang kewajiban orang tua. Namun disamping itu,dijelaskan pula tentang kewajiban dari anak.Salah satu cara menghormati leluhur adalah dengan cara menjaga nama baik keluarga bahkan kalau bisa semakin mengharumkan nama keluarga dan juga mengatur pelimpahan jasa kepada sanak keluarga yang telah meninggal.

Nah, itu semua kembali tergantung kepada diri kita sendiri bagaimana kita menjalankannya.
“Sampah menjadi Emas, Emas menjadi Cinta Kasih”

“Orang yang mempunyai kedua tangan tetapi malas, mabuk-mabukan, merugikan orang lain tidak lebih baik dari orang yang tidak mempunyai tangan”

“Untuk menghapus malapetaka di dunia, harus dimulai dari memperbaiki kondisi hati manusia.”




Asal Usul Tradisi Bacang (Hari Peh Cun)

Menurut penanggalan Imlek, tanggal 5 bulan 5 kalender lunar adalah hari Duan Wu, mungkin kalau di Indonesia lebih dikenal sebagai hari Peh Cun yang terkenal akan Bacang-nya.

Menurut tradisi orang Tionghoa, Peh Cun termasuk salah satu dari tiga hari besar orang Tionghoa selain hari raya Imlek dan hari raya Tiong Jiu (kue bulan).


Ada empat hal yang sering dilakukan masyarakat Tiongkok bila merayakan hari ini, yaitu membuat dan makan Bacang, mendirikan telur, dan mengadakan lomba perahu naga (Dragon Boat Festival) juga Mandi tengah hari.

Festival Peh Cun (端午节 Peh Cun Jie) yang diamati pada hari 5 bulan 5 kalender lunar Cina.
Festival ini juga dikenal di Barat sebagai Festival Perahu Naga, dan pada masih ada yang lebih rendah, Festival Dumpling, karena balap perahu berbentuk seperti naga dan konsumsi kue beras adalah dua elemen utama yang mencirikan festival ini.

Festival ini juga kadang-kadang disebut Double Kelima Festival (重五节 Chongwu Jie) karena tanggal pada bulan yang diadakan (yaitu 5 / 5).
Hal ini juga dapat disebut Festival Extreme Yang (端阳节 Duanyang Jie) karena menurut metafisika Cina, hari ini terjadi untuk mewujudkan keluar Yang energi terkuat sepanjang tahun. Nama tambahan lain untuk festival ini juga termasuk Festival Bulan Kelima (五月节 Wuyue Jie), Festival Hari Kelima (五日节 Wuri Jie), dan Festival Summer (夏节 Xia Jie).

Ada beberapa teori ditawarkan untuk asal-usul festival ini, tetapi yang paling populer menyangkut tokoh sejarah Qu Yuan (屈原) (c. 340 SM - 278 SM) yang merupakan sarjana patriotik dan menteri yang setia di negara Chu (楚国) selama periode Negara Berperang. Duan 「端」adalah singkatan dari Kai Duan「開端」 yang bermakna awal Chu「初」, orang zaman dulu menyebut tanggal 1 sebagai Chu Yi 「初一」, maka tanggal 5 sebagai sinonimnya : Duan Wu 「端五. Orang kuno juga biasa menyebut 5 / Wu sebagai siang hari Wu Ri「午日 maka dari itu bulan 5 tanggal 5 juga dinamakan Duan Wu 「端午.

Qu Yuan disukai kebijakan kerjasama diplomatik dengan kerajaan lainnya dari periode sebagai cara untuk melawan agresi negara Qin ( 秦国 ) yang mengancam akan menaklukkan mereka semua (Qin akhirnya menyatukan seluruh Cina dan kemudian mendirikan Qin dinasti).


Dia berhasil dalam mendapatkan raja untuk mengadopsi kebijakan, dan ia difitnah dan dibuang ke pengasingan setelah menteri korup lainnya meyakinkan raja untuk percaya pada tuduhan-tuduhan palsu mereka tentang dia.
Pada tahun 278 SM, ketika Qu Yuan mendengar bahwa pasukan Qin menyerbu Ying  (郢), ibukota Chu, ia menulis puisi Ratapan untuk Ying (哀郢 Ai Ying) di derita sebelum menenggelamkan diri di Sungai Miluo ( 汨罗江 Miluo Jiang ) ( terletak di provinsi Hunan sehari-sekarang).


Ritual bunuh diriNya dilakukan untuk memprotes korupsi yang menyebabkan jatuhnya negara rumahnya. Menurut legenda, penduduk desa berpacu perahu mereka di sungai untuk mencari tubuhnya, atau mereka mendayung perahu mereka sambil memukul drum untuk menakut-nakuti ikan dan / atau roh-roh jahat sehingga mereka tidak akan mengganggu tubuhnya. Mereka juga melemparkan bungkus beras ke dalam sungai yang baik dimaksudkan untuk makan ikan sehingga mereka tidak mau makan tubuhnya, atau sebagai persembahan untuk roh Qu Yuan.

Legenda lain juga mengatakan bahwa Qu Yuan muncul dalam mimpi teman-temannya dan mengatakan kepada mereka bahwa ia telah melakukan bunuh diri karena tenggelam dan bahwa mereka harus membuang nasi yang dibungkus dalam sutra ke sungai untuk menenangkan sungai naga.
Ini adalah legenda yang memunculkan kebiasaan tradisional balap perahu naga (龙舟 longzhou) dan makan kue beras ( 粽子 zongzi ) pada peringatan kematian Qu Yuan yang diamati setiap tahun pada hari 5 bulan lunar ke-5.

Legenda Qu Yuan adalah cerita yang paling populer disebut sebagai asal dari Duan Wu Festival, tetapi ada juga cerita alternatif lain juga melibatkan tokoh-tokoh sejarah lainnya.
Satu cerita alternatif melibatkan Wu Zixu (伍子胥) (526 SM SM? Untuk 484) dari periode Musim Semi; Musim Gugur yang merupakan sarjana, setia, dan umum militer negara Wu (吴国). saranNya untuk mencegah invasi oleh negara tetangga telah diabaikan oleh raja dan ia dipaksa untuk bunuh diri dengan pedang.

Dia mengatakan kepada raja untuk menghilangkan bola setelah bunuh diri dan menggantung mereka di atas gerbang kota sehingga ia dapat menyaksikan serangan itu.
Tubuhnya dibuang ke sungai setelah kematiannya, tetapi ia kemudian didewakan sebagai dewa sungai yang disebut Dewa Gelombang ( 涛神 Taoshen ).

Cerita lain alternatif melibatkan anak perempuan berbakti Cao E (曹娥) (130 CE untuk 143 M) dari dinasti Han yang tenggelam mencari ayahnya, Cao Xu (曹盱), seorang dukun yang jatuh ke sungai saat melakukan ritual keagamaan untuk dewa sungai - Wu mantan Zixu. 

Ada juga teori lain yang mengatakan Festival Peh Cun awalnya adalah festival agraria untuk merayakan panen gandum musim dingin, atau festival keagamaan untuk berlatih menyembah naga atau mencegah penyakit. Kegiatan tradisional yang dikenal selama Festival Peh Cun adalah menampilkan gambar dari Zhong Kui (钟馗) (dewa Tao yang menangkap hantu dan roh jahat), minum anggur realgar (雄黄酒 Jiu xionghuang), mengambil lama berjalan, memakai sachet herbal wangi (香包 xiangbao), dan menutup telepon jerangau / bendera manis (菖蒲 changpu) dan mugwort Cina (艾草 aicao) ( karena tanaman aromatik digunakan untuk menangkal serangga yang berkembang biak sebagai cuaca menjadi hangat di bulan lunar kelima ). Semua praktik ini memiliki tema umum mengusir kekuatan negatif dan menjaga kesehatan yang baik.

 Makan Bakcang : Tradisi makan bakcang secara resmi dijadikan sebagai salah satu kegiatan dalam festival Peh Cun. Berdasarkan catatan sejarah, pada zaman Qun Chiu (Tahun 722 – 481 S.M.), menggunakan daun untuk membungkus beras dijadikan berbentuk tanduk sapi juga ada yang menggunakan tabung bambu diisi beras ditutup rapat dan dipanggang sampai matang, disebut “Bacang Tabung”.

Ini boleh dibilang adalah cikal bakal Bacang. Bentuk bakcang sebenarnya juga bermacam-macam dan yang kita lihat sekarang hanyalah salah satu dari banyak bentuk dan jenis bakcang tadi. Di Taiwan, di zaman akhir Dinasti Ming, bentuk bakcang yang dibawa oleh pendatang dari Fujian adalah bulat gepeng, agak lain dengan bentuk prisma segitiga yang kita lihat sekarang. Isi bakcang juga bermacam-macam dan bukan hanya daging. Ada yang isinya sayur-sayuran, ada pula yang dibuat kecil-kecil namun tanpa isi yang kemudian dimakan bersama serikaya, gula manis.


Pada bulan 5 (kalender Imlek), saat musim panas memakan kue pendingin tubuh terbuat dari beras, yang dibungkus dengan daun dan dimasak sampai matang, aroma wanginya terasa unik, sesudah menyantapnya bisa menetralisir panas-dalam dan menurunkan sifat api dalam tubuh, terasa nyaman bagi pencernaan, sungguh suatu makanan yang sesuai dengan musimnya. 

Pada saat itu, orang-orang berganti busana musim kemarau dan mengutamakan yang serba ringan dan sejuk. Dilihat dari tradisi berpakaian dan makananya, hari Duan Wu dianggap ada hubungan yang akrab dengan tibanya musim kemarau, tentu ada benarnya juga.
 
Mengenang Qu Yuan
Kebiasaan adat istiadat yang berkaitan dengan hari Duan Wu tidak sedikit, mengenai asal usulnya terdapat tidak hanya 1 dongeng saja, umumnya diperkirakan hari Duan Wu berawal dari peringatan Qu Yuan (baca: chu yuen) hingga tersebar luas. Konon pada masa Zhan Guo (Negara Saling Berperang, tahun 403 – 221 SM), Raja Chu Huai menolak prakarsa Qu Yuan untuk berkoalisi dengan Negara Qi dan berperang melawan Qin, namun diperdayai oleh Zhang Yi ke Negara Qin, ia dipaksa merelakan wilayah berikut kota-kotanya. Raja Qu Huai selain merasa dipermalukan juga terhina, menjadi risau hatinya dan tak lama terserang penyakit dan mangkat di Negara Qin.
Qu Yuan
Qu Yuan yang setia lagi-lagi mengusulkan secara tertulis kepada sang pengganti: Raja Qing Xiang, dengan harapan beliau bisa menjauhi para pejabat pengkhianat, akan tetapi Raja Qing Xiang selain tidak bisa menampung aspirasi tulus Qu Yuan, malah membuangnya. Negara Qin melihat peluang sudah matang dan dengan segara mengirimkan bala tentara, dalam waktu singkat maka Negara Qu telah kehilangan sebagian besar teritorialnya, rakyatnya dibantai. Qu Yuan yang masih setia, menyaksikan semuanya ini, hatinya bagaikan teriris, dalam kesedihan yang amat sangat maka pada tahun 278 SM, kalender Imlek tanggal 5 bulan 5, dia bunuh diri dengan menceburkan dirinya ke Sungai Mi Luo.

Para nelayan mendengar berita tersebut menggunakan perahu berusaha meng entas jenazah Qu Yuan namun gagal, maka akhirnya mereka berbondong-bondong menceburkan makanan ke dalam sungai, dengan harapan agar para ikan, udang dan kepiting sesudah makan kenyang tidak sampai mengganggu jenazah Qu Yuan. Dongeng tersebut secara cerdik dan pas dikaitkan dengan tradisi makan kue Bacang, lomba perahu naga dan lain sebagainya dengan meloncatnya Qu Yuan ke dalam sungai.Saat ini, Dragon Boat Festival dirayakan di China, Taiwan, Singapura, Malaysia, Indonesia dan beberapa negara lain.
 
Hari Raya Naga dalam lomba perahu Naga

Cendekiawan patriot terkenal, Tuan Wen Yiduo di dalam tesisnya “Kajian Duan Wu” berpendapat: Suku bangsa kuno Yue menjadikan naga sebagai totem mereka, kala itu karena orang-orang merasa terancam kekuatan alam, beranggapan suatu makhluk memiliki kekuatan alami supranatural, oleh karena itu menganggap makhluk-makhluk tersebut adalah leluhur dan dewa pelindung seluruh suku mereka, yang di zaman kini disebut se bagai “Totem Naga”.

Maka mereka menato makhluk berupa naga pada tubuhnya dan di atas peralatan sehari-harinya, agar memperoleh perlindungan dari Totem Naga, demi menunjukkan bahwasanya mereka berstatus “anak naga”, mengokohkan hak dilindungi bagi dirinya sendiri. Mereka tidak saja bertradisi memotong rambut dan menato tubuh, bahkan pada setiap tanggal 5 bulan 5 kalender Imlek, mengadakan sebuah persembahan besar Totem Naga. Di antaranya terdapat permainanyang mirip dengan perlombaan pada dewasa ini, itulah asal usul tradisi lomba naga ketika dimulai.

Namun lomba perahu naga bukan hanya adat istiadat orang Yue, tapi suku bangsa lainnya juga memiliki kebiasaan itu, di dalam penemuan benda-benda kuno zaman Zhan Guo dapat terlihat sedikit kecenderungan tersebut, waktu terselenggaranya lomba perahu naga juga sama.

Kebiasaan hari Duan Wu
Berdasarkan catatan sejarah, jauh pada zaman Qun Chiu (Tahun 722 – 481 S.M.), menggunakan daun untuk membungkus beras dijadikan berbentuk tanduk sapi juga ada yang menggunakan tabung bambu diisi beras ditutup rapat dan dipanggang sampai matang, disebut “Bacang Tabung”. Ini boleh dibilang adalah cikal bakal kue Bacang.

Pada bulan 5 (kalender Imlek), saat musim panas memakan kue pendingin tubuh terbuat dari beras, yang dibungkus dengan daun dan dimasak sampai matang, aroma wanginya terasa unik, sesudah menyantapnya bisa menetralisir panas-dalam dan menurunkan sifat api dalam tubuh, terasa nyaman bagi pencernaan, sungguh suatu makanan yang sesuai dengan musimnya. Pada saat itu, orang-orang berganti busana musim kemarau dan mengutamakan yang serba ringan dan sejuk. Dilihat dari tradisi berpakaian dan makananya, hari Duan Wu dianggap ada hubungan yang akrab dengan tibanya musim kemarau, tentu ada benarnya juga.•



Menggantungkan Rumput Ai dan Changpu : 

Peh Cun yang jatuh pada musim panas biasanya dianggap sebagai bulan-bulan yang banyak penyakitnya, sehingga rumah-rumah biasanya melakukan pembersihan, lalu menggantungkan rumput Ai (Hanzi: 艾草) dan changpu (Hanzi: 菖埔) di depan rumah untuk mengusir dan mencegah datangnya penyakit. Jadi, festival ini juga erat kaitannya dengan tradisi menjaga kesehatan di dalam masyarakat Tionghoa.


Mandi Tengah Hari : 

Tradisi ini cuma ada di kalangan masyarakat yang berasal dari Fujian (Hokkian, Hokchiu, Hakka), Guangdong ( Thiochiu, HokChiu, Hakka) dan Taiwan. Mereka mengambil dan menyimpan air pada tengah hari festival Peh Cun ini, karena dipercaya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit bila dengan mandi ataupun diminum setelah dimasak. Kalau di Indonesia, ada yang mandi di sungai ketika tengah hari karena dipercayai saat itu air naga datang ( kota tanjungbalai, Sumatera Utara )


Mendirikan Telur : 

Anda pernah mencoba membuat telor berdiri? Dari cerita orang-orang tua dulu hanya satu hari dalam setahun dimana telor dapat berdiri yaitu pada hari bacang (peh cun). Fenomena alam ini terjadi setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan kalender imlek tepat jam 12 siang. 
 


Fenomena ini jelas ada di kalender imlek sebagai hari raya Duanwu (China), di Taiwan juga disebut sebagai “Twan Yang” (saat matahari memancarkan cahaya paling kuat, Gaya gravitasi di tanggal ini adalah yang terlemah, sehingga menyebabkan telor ayam mentah bisa berdiri), saat ini matahari berada di "posisi istimewa" yaitu tepat di atas khatulistiwa, sehingga mendirikan telur juga merupakan bagian dari festival budaya ini, selain tentunya menyantap Bacang.  Syarat dan Kondisi Telur :
-Telur Tidak boleh dicuci
-Telur tidak boleh di masukan ke dalam kulkas

-Telur jangan direbus 
 
 
Sumber 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

8 Festival Penting dalam Tradisi Tionghoa

Hari Raya atau Festival merupakan bagian dari suatu kebudayaan, terbentuk mulai dari ribuan tahun hingga kini. Hari Raya atau Festival dalam tradisi Tionghoa kebanyakan berasal dari astronomi, kalender dan Matematika  serta adanya pengaruh karakter sejarah didalamnya. Berikut ini merupakan 8 (delapan) Hari Raya maupun Festival Penting dalam Tradisi Tionghoa yang masih dirayakan sampai saat ini berdasarkan urutan bulannya dalam setahun.  

Festival Tahun Baru Imlek  (“Chun Jie[春节]”)

Tahun Baru Imlek atau juga disebut dengan Istilah Festival Musim Semi (“Chun Jie []”) merupakan hari raya yang berkaitan dengan pergantian musim dari Musim Dingin ke Musim Semi. Karena Musim Semi dihitung sebagai Musim Pertama dari Empat musim yang ada (4 Musim = Musim Semi, Musim Panas, Musim Gugur dan Musim Dingin) maka berdasarkan penanggalan Imlek, Hari pertama Mulainya Musim Semi merupakan hari pertama daripada Satu Tahun. Oleh karena itu, Festival Musim Semi juga dikenal sebagai Tahun Baru Imlek yang dirayakan oleh Masyarakat Tionghoa hingga kini.

Festival Yuan Xiao (“Yuan Xiao Jie[圆宵节]”)

Hari Raya Yuan Xiao jatuh pada tanggal 15 bulan Pertama penanggalan Imlek yang adalah bulan Purnama pertama pada Tahun Baru yang juga merupakan hari terakhir dari Perayaan Tahun Baru Imlek. Pada hari ke-16 Bulan pertama Imlek, semua kegiatan dan aktifitas sehari-hari sudah berjalan seperti biasanya. Di Indonesia, perayaan Hari Raya Yuan Xiao juga sering disebut dengan istilah “Cap Go Meh” yang artinya Malam hari ke-15.

Festival Qing Ming (“Qing Ming Jie[清明节]”)

Hari Raya Qing Ming atau juga dikenal dengan istilah “Ceng Beng” dalam dialek Hokkian adalah hari dimana masyarakat Tionghoa melakukan sembahyang dan ziarah ke tempat pemakaman para leluhurnya. Kegiatan yang sering dilakukan pada hari Qing Ming adalah melakukan pembersihan kuburan dan melakukan penghormatan kepada leluhur atau keluarga yang telah meninggal dunia.

Festival Duan Wu (“Duan Wu Jie[端午节]”)

Festival Duan Wu biasanya dirayakan dengan mengadakan perlombaan Perahu Naga dan Makan Bak Cang. Tujuan dari Festival Duan Wu ini adalah untuk memperingati seorang Patriot yang bernama “Qu Yuan” dari Negeri Chu di daratan China yang meninggal dunia akibat bunuh diri karena cemas akan masa depan negerinya. Festival Duan Wu jatuh pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.

Festival Qi Xi (“Qi Xi Jie [七夕节]“)

Festival Qi Xi merupakan festival yang omantic dalam tradisi dan kebudayaan Tionghoa. Festival Qi Xi ini memperingati kisah romantic  antara Pria Pengembara Kerbau “Niu Lang” dan Wanita Penenun “Zhi Nv” yang menurut ceritanya hanya setahun sekali pertemuan. Festival Qi Xi juga sering dijuluki Hari Valentine-nya Orang Tionghoa. Istilah lain untuk Festival Qi Xi  antara lain Ji Qiao Jie dan Nv Er Jie.  Festival Qi Xi jatuh pada tanggal 7 bulan 7 penanggalan Imlek.

Festival Mid Autumn (“Zhong Qiu Jie[中秋节]”)

Festival Mid Autumn merupakan salah satu festival tradisi Tionghoa yang paling banyak dan ramai dirayakan oleh Masyarakat Tionghoa. Kata Zhong Qiu jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah Pertengahan Musim Gugur. Bentuk bulan Purnama pada malam Zhong Qiu akan kelihatannya lebih besar dan lebih terang daripada bulan-bulan lainnya. Bentuk perayaan Festival Zhong Qiu adalah makan kue bulan, pesta lentera dan berkumpul bersama keluarga untuk menikmati pemandangan bulan yang indah. Festival Zhong Qiu jatuh pada tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek.

Festival Chong Yang (“Chong Yang Jie[重阳节]”)

Festival Chong Yang Jatuh pada tanggal 9 bulan 9 penanggalan Imlek, Kata “Chong Yang” artinya nomor “Yang” yang double (2 kali), menurut “I Ching” (Kitab kuno China) angka 9 memiliki  sifat “Yang”. 9 (Sembilan) juga merupakan angka tertinggi dari angka-angka lainnya dan mempunyai bunyi yang sama dengan “Jiu Jiu” yang artinya lama-lama. Jadi sering diartikan sebagai panjang umur. Festival Chong Yang banyak dirayakan di Hongkong dan Daratan China. Sedangkan bagi Masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara, Festival Chong Yang jarang dirayakan.

Festival Tong Zhi (“Tong Zhi Jie [冬至节]”)

Festival Tong Zhi merupakan salah satu Festival yang terpenting dalam tradisi Tionghoa. Di Bagian Utara belahan bumi ini, Siang hari di  Tong Zhi merupakan siang hari yang terpendek sepanjang tahun dan malam hari pada hari Tong Zhi adalah malam yang paling panjang dalam satu tahun. Karena kondisi hari yang begitu spesial maka Masyarakat Tionghoa pada saat itu menggangap kondisi ini adalah pemberian Tuhan yang sempurna. Makanan Tradisi yang harus dipersiapkan untuk merayakan Festival Tong Zhi adalah “Tang Yuan” yaitu sejenis makanan yang terbuat dari tepung beras ketan kemudian dibentuk bulat kecil. Hal ini ini memiliki arti Reuni (“Tuan Yuan [团圆]”) atau penuh/sempurna (“Yuan Man [圆满]”). Ada versi yang mengatakan bahwa umur akan bertambah satu tahun setelah makan Tang Yuan.